Senin, 28 September 2020

[REVIEW] Norwegian Wood

 

Sama seperti mendengar lagu The Beatles dengan judul yang sama. Rasa manis, pahit bahkan kecutnya sama persis. Sekarang saya paham, ternyata ini yang disebut dengan karya yang terinspirasi dan terilhami dari karya lain. Jadi ya, rasanya kurang lebih sama.

 

Saya pikir, karena masuk golongan buku sastra, bukunya bakalan berat. Banyak istilah yang sepertinya gak bakalan saya pahami. Apalagi latar tahunnya itu di era 60-70-an. Ternyata saya salah, saya bisa membayangkan adegan di setiap cerita dengan latar suasana tokyo. Saya hanya perlu membayangkan tokyo saat ini tanpa handphone, internet dan media sosial. Saya juga kagum dengan cara penulisan Murakami-Sensei, dia punya komposisi antara vulgar dan lugas yang justru dibuat biasa aja. Gak dibuat berlebihan.

 

Menariknya lagi, Murakami-Sensei mengajak kita mengikuti sudut pandang Watanabe, mahasiswa jurusan drama yang merasa dirinya itu biasa saja. Dan bisa berteman dengan orang-orang yang tidak bisa dipanggil biasa. Misal, Nagasawa yang penuh pesona dengan otak dan kekayaan yang mengagumkan, senang bermain perempuan tetapi setia dengan pacarnya, kontradiktif sekali kelakuannya. Teman satu kamarnya yang selalu dipanggil Si Kopasgat, yang luar biasa nerd, rajin senam pagi setiap jam tujuh, cinta kebersihan, dan jadi objek banyolan seru andalan Watanabe dengan teman-temannya. Midori gadis kuat dengan rambut cepak. Dan tentu saja, Naoko yang lembut dan ringkih seperti kapas.

 

Saya termasuk orang yang lumayan tertarik dengan karakter Midori dan Naoko. Dua perempuan yang dekat dengan Watanabe tapi sifatnya itu seperti gula dan garam. Naoko manis, lembut dan terlihat seperti gadis yang butuh bantuan, sampai wajar rasanya kalau Watanabe betah dan nurut-nurut saja kalau disuruh mengendong gadis ini sambil jogging di lapangan. Sedangkan Midori gadis yang benar-benar bebas, slengean dan punya imajinasi tidak karuan. Ya saking gak karuan, dia berani request untuk dijadikan bahan imajinasi kalau Watanabe mau masturbasi. Edan.

 

Sama seperti sinopsis di sampul belakang. Watanabe itu tipe pria yang bisa biasa saja bercumbu dengan perempuan yang baru dikenal. Tapi ngenesnya, gak bisa berpindah hati dari Naoko yang merupakan cinta pertamanya. Belum lagi, Naoko itu yang juga pernah menjadi kekasih Kuzuki, sahabat dekat Watanabe yang memilih bunuh diri di usia 17 tahun.

 

 

Bener-bener racun dalam artian sesungguhnya.  

 

 


Judul : Norwegian Wood

Pengarang : Haruki Murakami

Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Genre : Sastra

Rate : U 15+

Harga :  Rp 68.400 (tokopedia)

Ipusnas : -

 

[REVIEW] WHO MOVED MY CHESEE

 

Buku ini segurih keju parmesan. Kalau hanya melihat dari cover, kelihatannya bukunya berat. Mungkin karena tercetak kalimat "Cara Jitu Menghadapi Lika Liku Perubahan dalam Kehidupan dan Pekerjaan". Sampai-sampai saat saya posting buku ini di sosial media. Beberapa teman bilang, kalau buku ini pasti isinya berat. 


Sayangnya, buku ini tergolong ringan, bahkan anak kecil saja pasti bisa paham dengan cerita ini. Walau pun saya juga sedikit heran dengan rating 18+. Karena setelah dibaca, tokoh yang disajikan di dalam bab who moved my cheese itu dua kurcaci dan dua tikus. Keempat tokoh ini merupakan refleksi dari diri kita saat menghadapi perubahan. Saya sendiri pernah jadi keempatnya dalam momen yang berbeda. Mungkin, kalian juga saat ini menjadi salah satu dari empat tokoh imajiner buatan Spencer JohnsonSniff (endus) tikus yang mampu mengendus adanya perubahan dengan cepat. Scurry (lacak) tikus yang segera bergegas mengambil tindakan. Hem (Kaku) kurcaci yang menolak dan mengingkari adanya perubahan. Terakhir, Haw (Aman) kurcaci yang baru mencoba beradaptasi jika ia melihat perubahan ternyata mendatangkan sesuatu yang baik. 

 

Kok seperti fabel? Bukan seperti, tapi betulan fabel untuk saya. Saya selalu tertawa dengan kata pengantar sang penulis. Kisah ini mengusik kecerdasan mereka, karena memang kisah ini sangat mudah dimengerti. Dan ya, untuk beberapa rekan kerja saya, mereka bilang, buku ini sudah tidak pantas dibaca untuk ukuran lulusan S2. Sayang sekali.

 

Sampai sekarang, setidaknya saya sudah membaca sampai 3 kali. Pertama karena penasaran berkat podcast Deddy Corbuzier dengan beberapa pebisnis ternama di Indonesia. Selalu, dia menyempatkan bertanya, pernah membaca buku ini atau tidak. Saya bahkan membacanya melalui aplikasi iPusnas milik Perpustakaan Indonesia, gratis. Kedua, perusahaan saya memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak dengan beberapa karyawan karena project dari sebagian klien terhenti berkat Covid-19. Gelombang panik dan marah berdatangan. Saya mencoba kembali membaca dan menemukan, 'ah kalau saya diberhentikan, berarti cheese saya di tempat lain'. Dan yang ketiga, saat saya mengikuti tes CPNS dan merasa nilai saya terlalu rendah untuk lulus. Kali ini saya berpikir lain, 'Kalau tidak lulus, berarti cheese saya belum habis di perusahaan ini'. Tapi saya masih berharap cheese saya dipindahkan di tempat saya melamar menjadi ASN. Haha

 

Satu hal yang baru saya sadari selama membaca buku ini. Proses perubahan yang selalu membuat saya merasa kecolongan. Sama persis seperti tulisan yang pernah Haw tulis di dinding labirin. Enduslah cheese sesering mungkin sehingga anda tahu kapan mulai membusuk. Karena perubahan selalu terjadi, maka kita harus memperhatikan perubahan itu sendiri. Jadi, ayo bergerak bersama cheese!! 

 


Judul : Who Moved My Cheese

Pengarang : Spencer Johnson, M.D.

Penerbit : PT Elex Media Komputindo

Genre : Self-Improvement

Rate : 18+ (padahal kaya fabel)

Harga : Rp. 98.800

Ipusnas : Tersedia

[REVIEW] Norwegian Wood

  Sama seperti mendengar lagu The Beatles dengan judul yang sama. Rasa manis, pahit bahkan kecutnya sama persis. Sekarang saya paham, ternya...